Senin, 18 Maret 2013

Licht



Kini ku beranjak dewasa bergandengkan waktu.  Kumiliki banyak kawan dan sahabat, tapi hati ini tetap merasa hampa.  Aku yakin mereka hanya menjadi pelangi yang timbul akibat seberkas uraian titik hujan.  Mereka datang menghiasi hari-hariku yang sepi dan suatu saat nanti akan pergi kembali meninggalkanku dalam kesepian yang sama.
Usai sudah kutinggalkan cerita panjangku di SMA.  Cerita dongeng yang indah dimana kunikmati masa ceriaku yang tak akan kembali.  Kurun waktu disaat kumiliki teman-teman yang selalu merangkulku dalam kehangatan, kehebohan, kebahagiaan, dan juga kekonyolan.  Usia muda yang selalu disebut masa yang berapi-api, karena disana semangat kita membara untuk melakukan hal-hal yang kita inginkan.  Meski itu dilarang, menakutkan, maupun berbahaya sekali pun.
Namun, hidup ini harus terus berlanjut.  Pelangi harus pergi bersama butiran-butiran hujan yang menyejukkan bumi.  Kutahu, meski persahabatan tak akan usai termakan waktu, tapi kebersamaan itu tak akan sama lagi.  Kita harus mengendalikan kemudi kita masing-masing.  Melaju di antara alur waktu menuju cita-cita yang ingin kita gapai.  Meski harus sendiri.
Tiga tahun lebih ku sendiri.  Meski kudapati teman-teman yang baik, tapi mereka hanya seperti bintang-bintang.  Menerangi bumi, akan tetapi berada jauh tak tergapai.  Begitulah mereka, menjadi pelengkap warna hidupku meski tak akan mampu menerangi kehampaan yang berada jauh di dalam lubuk hatiku.
***
Hari ini ku masih sama seperti hari-hariku yang lain.  Penuh keceriaan dalam ekspresi, kekosongan dalam batin.  Begitu pula saat ku bertemu dengan wanita itu.  Wanita berkerudung yang muncul di antara orang-orang lain yang belum aku kenal. Orang-orang yang dipertemukan denganku dalam suatu kegiatan sosial.
Aku tak dapat melihat secara pasti seperti apa wajah wanita itu.  Tapi aku tahu pasti ia berbeda dengan orang-orang lain yang sedang berkumpul di aula itu.  Wajahnya yang bersih selalu disembunyikan dengan menghadap ke bawah. Memperjelas sosoknya yang sangat pemalu.  Matanya yang manis tak tampak di antara kerudung merah yang ia kenakan.  Sesekali hanya senyumnya yang tampak merekah menyapa kami.
Nur namanya.  Kata yang berasal dari bahasa Arab, orang Jerman menyebutnya Licht.  Nama yang simpel, tetapi mengandung arti yang indah, cahaya.  Mungkin suatu hari kedua orang tuanya mengharapkan kehadiran sosok yang dapat menjadi penerang keluarganya, bahkan orang-orang di sekitarnya.  Atau mungkin juga bayi yang mereka timang diharapkan mampu menjadi cahaya indah, pelita di antara cahaya gelap, kegelisahan, dan juga ketakutan.  Entah apapun itu, pasti mereka memiliki harapan yang mulia dalam nama tersebut.
***
Semakin bergulirnya waktu, semakin sering kita bertemu, semakin pula kumengenalnya.  Wajahnya yang manis, indah berseri, seperti namanya, pun mulai aku pahami.  Hanya satu hal yang belum aku tahu, rasa nyaman yang aku rasakan saat bersamanya.  Bagaimana aku mulai senang menggodanya, atau bahkan merayunya.  Bagaimana aku bisa membuatnya marah dan membuatnya merasa sebaliknya.  Begitu pula seperti yang ia lakukan padaku.
Hingga suatu saat, dimana kita harus melakukan kegiatan sosial selama sebulan penuh dan memaksa kami harus hidup bersama, aku semakin dekat dengannya.  Malam itu, ketika sedang tertidur di ruang tamu, aku sungguh merasa kedinginan.  Lokasi kegiatan yang berada di lereng pegunungan membuat hawa dingin yang menusuk tulang.  Maka tak jarang banyak rekanku yang jatuh sakit atau sekedar flu.
Ketika tengah malam menyapa, aku merasa ada seseorang yang mendekatiku.  Meski aku sempat terjaga dari tidurku, tapi malas bagiku untuk membuka mata.  Rasa kantuk yang begitu berat lebih mengajakku untuk tetap melanjutkan tidur.  Dan tiba-tiba terasa olehku, orang tersebut menutupi tubuhku dengan selembar selimut tebal.  Aku tak bergeming.  Begitu pula orang tersebut, seperti terdiam sesaat menghadapku, dan kemudian berbalik pergi.  Saat terdengar langkah kakinya yang mulai menjauh, dan daun pintu yang ia buka, kuintip dia dari kedua picingan mataku.  Nur, ternyata dia yang telah menyelimutiku.  Hingga aku merasa hangat.
Keesokan harinya, kuberpura-pura tak mengetahui kejadian semalam.  Saat anak-anak sedang berkumpul, ku bertanya pada mereka, “Sepertinya semalam aku tidur gak pake selimut, kok paginya udah selimutan ya? Siapa ya yang nyelimutin aku?”
Semua orang mengelak.  “Mungkin kamu lupa kali, aku liat kamu udah selimutan dari semalem,” ujar salah seorang.  Kucoba melirik Nur, wajahnya tertunduk seperti menyembunyikan sesuatu.  Dan aku tahu pasti apakah yang terjadi semalam.
***
Hari yang lain dalam serangkaian kegiatan sosial yang sedang kami ikuti.  Hatiku cemas. Gelisah.  Tapi tak pernah aku tunjukkan dalam raut wajah ini.
Pagi itu, Nur membangunkanku tuk meminta diantarkan ke dokter.  Tubuhnya lemas.  Leher sebelah kanan agak besar.  Badannya panas.  Wajahnya pucat.  Aku tak tahu apakah dia akan kuat membonceng sepeda motor menuju klinik.  Tapi semua itu tetap harus dihadapi agar kondisinya lebih baik.
Sesampai di klinik, dokter sedang keluar kota.  Kulihat wajahnya semakin pucat mendengarnya.  Aku tahu pasti apa yang dia rasakan, tapi aku harus tetap tenang untuk membuatnya lebih kuat. Maka kubalikkan arah motor menuju puskesmas.  Yah, terpaksa kami berobat di tempat yang serba terbatas itu.  Demi kesembuhannya.
Gondongan, itulah penyakit yang sedang ia alami.   Meski kondisinya lemas, tapi dia boleh pulang.  Dengan bekal obat yang diberikan dokter, diperkirakan lusa ia akan membaik. Kami pun bisa sedikit bernafas lega.
Sesampai di rumah, kuambilkan sepiring nasi dan telur asin untuk dia makan.  Karena dia masih terbaring lemas di kamar, aku tak bisa berlama-lama di kamar wanita.  Aku pun hanya bisa memastikan dia sudah minum obat ditemani teman sekamarnya.
Malam itu sebuah kisah baru aku alami, untuk pertama kalinya aku merasa sungguh perhatian pada seseorang. Inilah satu hal lagi yang belum aku ketahui kenapa.  Yang pasti aku tak mau dia jatuh sakit.
***
Sebulan telah berlalu.  Kegiatan sosial yang kami lakukan telah usai.  Senang hati rasanya bisa kembali pada rutinitas masing-masing.  Senang pula saat kami berhasil menjalankan seluruh program yang telah direncanakan.  Akan tetapi, dibalik semua itut, terdapat kesedihan yang kami rasakan.  Saat kami harus berpisah dengan sahabat-sahabat yang sudah seperti saudara.  Terutama saat aku harus berpisah dengan Nur.
Di hari itu, sebelum kami harus kembali ke rumah masing-masing, Nur mendekatiku.  Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan, kecuali, “Ini buat kamu,” ia menyodorkan boneka Teddy kesayangannya padaku.  Aku tak paham apa maksudnya, tapi boneka tersebut pasti akan membuatku sering teringat padanya.
***
Setelah kegiatan sosial tersebut aku masih sering bertemu dengan Nur.  Bahkan dia yang membantuku mengepak barang-barang sebelum aku harus terbang ke luar kota untuk melakukan praktek kuliah selama sebulan.  Dialah yang mempersiapkan seluruh perlengkapan kerjaku di perusahaan hingga obat-obat yang mungkin aku butuhkan jika jatuh sakit.  Aku semakin yakin akan pengaruh kehadirannya dalam hidupku.
Saat hari keberangkatan, ia turut menghantarkanku ke bandara bersama keluargaku.  Hingga waktuku untuk check in dan harus berpisah, wajahnya menggambarkan kesedihan melebihi keluargaku.  Dan saat aku akan naik ke atas pesawat, aku melihatnya menyertai keberangkatanku dari atas anjungan.
Aku melambaikan tangan ke arah Nur dan keluargaku, dan mereka pun membalasnya.  Tampak Nur seperti mengucapkan sesuatu dari balik kaca anjungan, tapi tak sedikitpun aku dengar.
Selama sebulan di perantauan, rasa rindu akan kampung halaman mendera.  Rasa rindu akan sosok Nur yang mulai sering bersamaku pun muncul.  Hanya komunikasi melalui ponsel maupun dengan menatap si Teddy yang dapat menjadi obat rindu.  Lalu perasaan itu kian menajam saat dia marah padaku.
Untuk kesekian kalinya aku tak menjawab pertanyaan Nur perihal tanggal kepulanganku.  Aku tahu dia juga sangat merindukan kedatanganku.  Namun, ada niat lain untuk memberikan kejutan untuknya.  Namun, niat itu pun sirna manakala ia mengancamku tak mau bertemu lagi jika aku tak mengaku.
***
Sudah seminggu aku kembali ke kampung halaman.  Rasa rindu yang semakin mendalam pada semua hal di kota itu terobati sudah.  Begitu pula saat aku mendatangi kos Nur untuk memberikan oleh-oleh, rasa bahagia tak dapat ia sembunyikan lagi.  Ia jadi salah tingkah.
Di minggu itu pula aku mendatangi kampusnya.  Aku mengungkapkan seluruh isi hatiku padanya di taman kampus.  Aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, begitu juga dia untuk hidupku.  Aku tak menghiraukan setiap kelebihan maupun kekurangannya, karena bagiku kesempurnaan bukanlah hal yang aku cari, tapi bagaimana dia mampu membuatku merasa lebih sempurna, itulah yang telah aku dapatkan darinya.
Namun, ia belum bisa untuk menjawab pertanyaanku.  Aku tahu akan keadaannya.  Baru setahun lalu ia putus dengan mantannya.  Rasa sakit dan rasa takut akan mengalaminya lagi pasti masih ia rasakan.  Akupun tak mampu berbuat apa-apa, karena aku hanya ingin mengharagainya.
Dua minggu kemudian, tepat tanggal 12 Desember 2012 dia memintaku datang ke kosannya.  Aku takut sekali jika dia jatuh sakit lagi seperti dulu.  Atau mungkin dia meminta tolong untuk keperluan lain.  Sepanjang perjalanan aku hanya mampu bertanya-tanya.
Sesampai di kosannya, kami duduk berdua di ruang tamu.  Dia mengenakan kaos putih dan rok batik panjang yang membuatnya tampil lebih cantik.  Aku tak berhenti untuk berulang kali meliriknya.
Sepuluh menit pertama kami hanya saling diam.  Aku menunggunya, tapi dia juga tak mengucapkan sepatah katapun.  “Ada apa?” aku berusaha mencairkan suasana.
Dia hanya menjawab, “Aku sayang kamu.”  Tak ada kata lain yang ia ucapkan.  Jantungku berdegup kencang.  Pikiranku gak karuan.  Wajahku memerah.  Otot-otot tangan dan kakiku serasa tak bisa digerakkan.  Bukan karena aku sakit, tapi karena hatiku terlalu bahagia.  Hari itu aku resmi pacaran dengannya.
***
Sudah lama sudah kami jalan bersama.  Banyak hal baru yang mulai aku ketahui darinya.  Dia yang sering ngambek jika aku cuekkan.  Dia yang begitu perhatian.  Dia yang serba bisa.  Dia yang selalu memikirkanku.  Dia yang lemah lembut.  Dia yang manja.  Dia yang polos. Dia yang selalu membuatku semakin cinta kepadanya.
Hari ini, aku berusaha menyelesaikan syair ini.  Aku ingin memberikan hal yang paling indah yang akan membuatmu bahagia.  Mungkin, saat ini kamu sedang marah padaku karena sengaja dua hari tak aku beri kabar. Sungguh susah menuliskan kisah tentang dirimu, karena semuanya terlalu banyak dan terlalu indah sehingga sulit untuk diungkapkan.  Namun aku tetap ingin berusaha untuk menyelesaikannya meski harus menghabiskan weekend ku untuk berimajinasi.
Maaf, jika hanya syair ini yang dapat aku berikan untukmu..
Akankah kita rela kehilangan orang yang sangat kita cintai?  Apakah kita sanggup berpisah dengan orang yang kita sayangi? Kesendirian di masa kecil itu sangat menakutkan, tetapi masa depan tanpa cinta itu lebih menyakitkan.  Saat ku bertemu denganmu, kutuliskan syair ini.  Ku mengerti bahwa kau tak pandai bersyair, tapi apakah yang akan kau rasakan ketika kau tahu ku menulisnya karenamu? Saat mengenalmu, kuberanikan diri tuk mencintaimu, dan aku tak takut lagi akan kehilanganmu karena suatu hari nanti ku berjanji akan memilikimu seutuhnya..
Nur, apapun makna dibalik namamu, aku yakin kau akan menjadi cahaya dalam hidupku..

                                                                                                             Magelang, 17 Maret 2013

Senin, 17 Desember 2012

Secuil Kisah dari Pantai Selatan

Mungkin terlalu berlebihan untuk menceritakan kisah kecil dalam perjalanan hidup ini.  Seuntai kisah yang tidak terlalu hebat untuk disampaikan. Tapi tanpa kisah, hidup akan sia-sia dan menghilang bagai debu yang beterbangan diterpa angin.
Kisah perjalanan anak muda yang mungkin sudah biasa dilakukan oleh orang-orang. Aktivitas camping di Pantai sudah banyak yang mengalami. Akan tetapi, kisah persahabatan ini mungkin masih banyak yang belum merasakan. Kebanyakan mereka datang hanya untuk bersenang-senang, menenangkan pikiran, tetapi tanpa menghayati arti persahabatan, semua itu hanya akan musnah diterpa waktu.
Bagi sebagian orang, apa yang telah kami lakukan hanyalah membuang-buang waktu, pergi meninggalkan kota di tengah malam, pergi memancing tanpa hasil seekor ikanpun, dan akhirnya hanya bermain kartu dan berlarian menerjang ombak yang datang.  Akan tetapi, jika hidup ini ini hanya dihabiskan untuk belajar dan bekerja tanpa mengukir kisah-kisah konyol yang mengesankan, tak akan ada cerita yang dapat disampaikan di hari tua. Hanya uang dan nilai yang akan menjadi patokan kepuasan. Memang, hidup tanpa berkarya akan membuat kita mati tanpa meninggalkan nama, tapi hidup tanpa kasih dan persahabatan akan membuat kita hidup seperti benda mati. Untuk itulah kita tidak bisa meninggalkan satu di antara keduanya.
Mungkin sulit untuk mengisahkan pengalaman ini, karena rasa puas yang kami rasakan melebihi alur cerita yang ada.  Sehingga mungkin saja subyektifitas perasaan ini yang telah tertuai, tanpa sedikitpun menjelaskan apakah yang telah terjadi.
Kami, empat orang mahasiswa Universitas di Jogja meninggalkan rutinitas keseharian belajar serta tugas2 yang masih menumpuk untuk pergi ke Wonosari.  Banyak teman yang menolak ajakan kami dengan alasan musim hujan, kurang kerjaan, ataupun membuang2 waktu. Akan tetapi hal tersebut tak sedikitpun menyurutkan niat kami, dengan nekat kami berangkat selepas maghrib dengan dua buah sepeda motor.  Tak ada rencana apapun yang akan kami lakukan di sana, hanya tenda, pakaian, kail, dan kartu remi yang kami bawa.
Sesampai di pantai, tak ada tanda2 wisatawan lain yang datang, hanya kami berempat. Bergegas kami titipkan sepeda motor pada salah satu rumah warga. Tak ada seorangpun yang mengerti bagaimana cara mendirikan tenda yang telah kami sewa. Namun dengan kegigihan yang ada, tenda itu dapat berdiri juga.  
Segera kami memulai aktivitas memancing  di tepi pantai, apa yang telah kami lakukan hanya seperti hal bodoh saja, memancing di laut hanya bermodalkan cacing, benang pendek, dan kail. Alhasil tak seekor ikanpun yang mencolek umpan kami. Meski berbagai jerih payah usaha telah dilakukan, meski kami sudah memanjat ke atas karang, nampaknya semuanya sia-sia saja dalam kurun waktu sekian jam. Dan akhirnya bintang-bintang yang berkelap-kelip mampu mengalihkan perhatian kami sambil bercengkrama dengan hangat.
Tak lama kemudian kami tertarik untuk memainkan kartu-kartu remi yang ada. Hingga penghujung malam kami melakukannya di dalam tenda yang sempit hingga tawa kami mampu membuat anjing pantai lari pergi ketakutan.  Sungguh indah malam panjang yang telah kami alami. Tak luput pula salah seorang menjadi korban kejailan teman yang lain. Suara kentut yang saling beradu, cairan oles anti nyamuk yang mendarat di muka, hingga terdesak tidur ke luar tenda. Begitu menyenangkan.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, kami bermain air di pantai. Lempar-lemparan pasir putih, saling berebut bola yang kami beli dari warung di ujung pantai, hingga mengubur teman dengan pasir pantai. Sungguh berbeda apa yang kami rasakan dengan keseharian kami.
Perlu suatu hari nanti kami datang lagi untuk bernostalgia dia pantai Sundak dan Sadranan wonosari.

14-15 Desember 2012,
Imam Andriano Risoyo

Sabtu, 27 Oktober 2012

Perjalanan Hebat



Aku duduk merenung di bawah pohon mahoni. Melamun seorang diri membayangkan tindakan bodohku selama sepekan ini. Tindakan yang memaksa hatiku hingga berada di sini.
Erupsi besar Merapi (Jumat dini hari), hujan pasir dan kerikil melanda Sleman dan Yogyakarta,  semua orang panik menyelamatkan diri. Para pengungsi di Harjobinangun direlokasi ke daerah yang lebih aman.
Semua sekolah dan universitas di Yogyakarta diliburkan hingga waktu yang tidak ditentukan, begitu juga kampusku. Kabar gembira bagiku, di tengah situasi genting seperti ini. Aku dan seorang kawanku berniat menengok situasi di Kaliurang, kami pun meluncur dengan menggunakan dua buah sepeda motor.
Semenjak semalam berita-berita di televisi sangatlah heboh, terdengar kabar bahwa awan panas atau yang dikenal masyarakat sebagai wedhus gembel mencapai perkampungan warga hingga belasan kilometer dari puncak Merapi. Kami yang merasa penasaran, menuju kesana.
Jalan Kaliurang km.7 masih sangatlah ramai. Hingga kami melewati kampus UII, suasana sangatlah berubah, jalanan sepi, keadaan mencekam. Hanya terdapat satu dua orang yang berniat menyelamatkan harta benda mereka. Kami berbelok ke jalan yang mengarah ke Kaliadem, hanya ada sekelompok brimob yang sedang mengantri menaiki sebuah truk besar.
Tindakan bodoh menurutku, bahaya yang mengancam diri sempat terpikir dalam benak, akan tetapi semua itu terkalahkan oleh rasa penasaranku sebagai anak muda yang sangat besar. Hingga kami berhenti pada sebuah jalan. Jalan menuju perkampungan Kepuharjo sudah ditutup, kami mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan. Rasa takut dan cemas sudah menghantui kami. Sepeda motor kami putar balik dan kami meluncur ke bawah.
Kami pulang dengan tergesa-gesa, hingga lima menit kemudian dua orang berkendara motor meneriaki dan menghentikan kami.  Seorang pengendara berbadan besar dan seorang yang memboncengnya berpostur sama membawa sebuah celurit. Perasaan kami pun menjadi tidak enak. Apakah mereka orang jahat dan akan membunuh dan meminta motor kami, hal itulah yang sempat terbesit dalam benak.
“Maling yo kowe..?” seseorang bertanya sambil menendang motorku. Kami sangat kebingungan. Aku tak tahu apa maksud mereka.
“Bukan mas,” aku menjawab pelan. Mereka pun menggeledah tas kami dan meminta kartu identitas kami, tetapi mereka tak menemukan satu barang curian pun. Mereka marah besar mengetahui kami hanya jalan-jalan ke sana. Mereka mengatakan kami bodoh dan tolol, mereka menendang motor kami kembali, sampai akhirnya mereka mengembalikan kartu identitas kami dan menyuruh kami pulang dengan perasaan geram.
Memang tidak berakal sehat  tindakan kami, suasana di Kaliurang memang sangat mencekam. Dan bodohnya lagi, kami dituduh sebagai penjarah.
Muncul perasaan  dosa dalam diriku, aku bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Bukannya aku membantu meringankan beban, malah jalan-jalan ke daerah rawan bencana tersebut.
Selama berhari-hari muncul rasa bersalah dalam diriku. Sebagai cendekiawan muda aku masih tergoda dengan egoku. Dan akhirnya aku memutuskan menjadi seorang relawan. Aku memprakarsai sebuah pendirian posko bencana bersama teman-temanku. Kami menerima bahan-bahan logistik dan menyalurkannya ke tenda-tenda darurat. Tak jarang kami juga membantu para relawan lain di tenda darurat.
Semoga semua tindakanku ini dapat membayar dosa-dosa atas perbuatan bodohku. Yang pasti, sekarang aku ikhlas melakukannya. Aku mendirikan posko ini dengan rasa kesadaran yang besar, aku dan teman-teman melakukan dengan sukarela tanpa niatan politik atau keuntungan lain.
Aku sangat bangga pada diriku yang dapat meringankan beban orang lain. Mungkin sebuah perjalanan hebat yang harus aku tempuh untuk mencapai kesadaran ini. Hingga aku berada di sini, di bawah pohon mahoni ini, untuk menunggu orang-orang yang akan mempercayakan kami menyalurkan bantuan logistik yang ada.

sang pujangga, 
Imam Andriano Risoyo

Tana Toraja di Pedalaman Kalimantan

Sangatta merupakan ibukota Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.  Daerah Sangatta ini merupakan daerah pemekaran di pedalaman hutan Kalimantan sejak dioperasikannya produksi tambang batubara PT.Kaltim Prima Coal pada tahun sembilanpuluhan.
Penduduk yang menetap di daerah Sangatta ini terdiri dari suku Banjar dan sebagian besar merupakan pendatang dari Jawa, Sulawesi, dan sedikit orang Sumatra.  Oleh karena itu, tak heran jika bahasa yang digunakan disini kebanyakan adalah bahasa Jawa dan Bugis dengan perpaduan sedikit bahasa Banjar.

Dikarenakan banyaknya orang Bugis Toraja yang menetap dan bekerja di PT. Kaltim Prima Coal, maka dibuatlah suatu rumah adat Tana Toraja di wilayah perbukitan Sangatta, pada wilayah jalan menuju Tanjung bara.  Rumah adat yang disebut dengan Tongkonan ini dibuat semirip mungkin dengan yang ada di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.  Rumah adat ini sangat mengagumkan, dimana konstruksinya menggunakan kayu, tanpa logam termasuk paku sidkitpun.
Rumah Adat Tongkonan ini sekilas mirip dengan rumah gadang dari daerah Minang dengan kedua ujung atap yang meruncing ke atas, konon filososfi atap ini berkaitan erat dengan hubungan kepada leluhur masyarakat Toraja yang mengarah ke utara.
Di samping rumah adat Tongkonan yang ada di Sangatta ini, terdapat patung kerbau yang konon dibuat untuk melambangkan bahwa masyarakat Toraja suka memelihara kerbau.  Rumah panggung ini biasanya digunakan untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan.  Sedangkan kolong di bawahnya digunakan untuk kandang kerbau.
Ornamen pada rumah adat ini sangatlah unik, yaitu terdiri dari warna merah, hitam , dan putih yang memepercantik tongkonan.  pada bagian pintu, tembok, jendela, dan bagian lainnya terdapat motif yang indah, halus, dan beragam.  Terdapat pula ukiran bergambar kerbau.
Jika Anda belum sempat untuk datang langsung ke daerah Tana Toraja, mungkin bisa mencoba datang ke Sangatta, Kutai Timur.  Namun, datang langsung ke Tana Toraja alangkah lebih menyenangkan dengan menikmati kearifan lokal yang ada, dimana kita dapat merasakan keberadaan orang mati yang "hidup".

sang pujangga,
Imam Andriano Risoyo

Kamis, 25 Oktober 2012

Hukum Sholat Jumat di Hari Raya

 اللهُ اكبَرُ- اللهُ اَكْبَرُ- اللهُ اكبَرُ لااِلهَ الااللهُ وَاللهُ اكبَرُاَللهُ اكبَرُ وَللهِ الحَمْد
  
Idul Adha 1433 H tahun ini ditetapkan pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2012 oleh kementerian Agama Republik Indonesia.  Namun, apakah kita tahu, bagaimana hukum menunaikan Shoalat Jumat pada hari raya?

Menurut pendapat Imam Syafi'i yang shahih, "Shalat Jumat tidak gugur bagi penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat.  Adapun bagi penduduk yang datang dari kampung lain, tidak gugur shalat Jumatnya." 

Menurut pendapat Imam Abu hanifah, "Penduduk kampung wajib shalat Jumat."

Menurut Imam Ahmad, "Tidak wajib shalat Jumat bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya.  Akan tetapi, mereka tetap wajib menunaikan shalat Dzuhur."

Menurut Atha, "Sholat Dzuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu, berarti tidak ada sholat lagi setelah sholat hari raya sebelum sholat Ashar."

Silahkan pendapat mana yang lebih kita percayai, yang pasti seluruh pendapat ini hanya dikhususkan kepada umat muslim yang menjalankan sholat ied atau shalat hari raya.  Jadi, jika umat muslim laki-laki tidak ikut menjalankan sholat ied, ia harus tetap menjalankan shalat Jumat.  Dan orang yang menjalankan shalat Ied dan juga shalat Jumat, maka hal itu lebih baik.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Zayd bin  Arqam RA, "Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat Ied pada waktu hari Jumat, kemudian beliau memberikan rukhshah  (kemudahan) dalam menjalankan shalat Jumat, kemudian Rasulullah bersabda , 'Barangsiapa yang berkehendak Shalat Jumat, maka hendaklah dia Shalat."

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah Ra, Rasulullah SAW bersabda, "Sunggah telah berkumpul pada hari kalian ini, dua hari raya.  Maka barangsiapa berkehendak, cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi.  Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat."

sang pujangga,
Imam Andriano Risoyo   

Senin, 22 Oktober 2012

Contoh Proposal Kegiatan Seni Budaya

Contoh Proposal Kegiatan Seni Budaya dapat di download pada link berikut ini:
Proposal Kegiatan Seni Budaya Dusun Ngernak Magelang 2012

Contoh Motivation Letter



My name is Imam Andrian Risoyo.  I am 19 years old.  My name has an important meaning. My father gave me that name at the following time after he had finished study in Japan.  Imam means a leader and Risoyo, a Japaneshe Language, means The world’s expectation. So my parents hoped that i would be a leader who  would be hoped by people around the world.  Starting from my name, i try to do  something useful for my life.
I really concerned with Education System, Technology, and crisis of morality in the development country, especially in Indonesia.  I could determine that three aspect because i was born and lived in the village.  So i can feel all the change and problem in my area.  It make me interest to join with AIESEC with the related program.
Education System in the city and village of Indonesia is really different.  It caused the awarness of the both societies also different.  People in the city could think for long future, but the other one just want to get profit in present.  Most of them stop to study in school just for getting job and collecting more money.  This situation that make me sad.  I have tried to change this situation.  However i always fail because they never take more effort to progress.  So i interest with some of AIESEC program to change my community in village. I hope i will get some exercises to get my community up for a better future. I will learn how government from progressive country give their citizens with same education.
I also interest with an expansion of technology, especially about energy.  People in the world are facing about crisis of energy right now.  Energy of solarcell is still secret in Indonesia right now.   PLN has still used coal as power plant in my country.  Therefore i interest to learn about alternative power plant in Europe.  I want to explain to my friend about this system.  Moreover it related to my major.
The third motivation that make me join with this program is learning about crisis of morality.  I’d like to discuss with people in many country how to fight a Corruption and Nepotism. This problem damage the strength of some countries, make it more weak.
I also want to learn about leadership.  Everybody will be a leader, at least for leading his self.  We have to make a brave for making a change.  By joining with AIESEC i will improve my personality to be more tactful.  Therefore i could be a leader who  would be hoped by people around the world. 
That’s all of my motivation to join with AIESEC.  I hope i can make a change for world, especially Indonesia and my community.  After come back from this internship, i will transfer all of my experiences to my friends and my comunity.  I will also do all of my plan for bigger Indonesia for making a people in village and city are same.
After i finish my study, i will work in International Petroleum Factories.  I believe that experiences in AIESEC will make me can be approved in those factories easier.  Then, i will collect more money to be brought into Indonesia.  I will found some factories and organisations in Indonesia for cutting down the unemployment.  I decide that my final purpose of the life is not search a job around the work, but giving a job for people around the world.


sang pujangga, 
Imam Andriano Risoyo