Kini ku beranjak dewasa bergandengkan waktu. Kumiliki banyak kawan dan sahabat, tapi hati
ini tetap merasa hampa. Aku yakin mereka
hanya menjadi pelangi yang timbul akibat seberkas uraian titik hujan. Mereka datang menghiasi hari-hariku yang sepi
dan suatu saat nanti akan pergi kembali meninggalkanku dalam kesepian yang
sama.
Usai sudah kutinggalkan cerita panjangku di SMA. Cerita dongeng yang indah dimana kunikmati masa
ceriaku yang tak akan kembali. Kurun
waktu disaat kumiliki teman-teman yang selalu merangkulku dalam kehangatan,
kehebohan, kebahagiaan, dan juga kekonyolan.
Usia muda yang selalu disebut masa yang berapi-api, karena disana
semangat kita membara untuk melakukan hal-hal yang kita inginkan. Meski itu dilarang, menakutkan, maupun
berbahaya sekali pun.
Namun, hidup ini harus terus berlanjut. Pelangi harus pergi bersama butiran-butiran
hujan yang menyejukkan bumi. Kutahu,
meski persahabatan tak akan usai termakan waktu, tapi kebersamaan itu tak akan
sama lagi. Kita harus mengendalikan
kemudi kita masing-masing. Melaju di
antara alur waktu menuju cita-cita yang ingin kita gapai. Meski harus sendiri.
Tiga tahun lebih ku sendiri. Meski kudapati teman-teman yang baik, tapi
mereka hanya seperti bintang-bintang.
Menerangi bumi, akan tetapi berada jauh tak tergapai. Begitulah mereka, menjadi pelengkap warna
hidupku meski tak akan mampu menerangi kehampaan yang berada jauh di dalam
lubuk hatiku.
***
Hari ini ku masih sama seperti hari-hariku yang
lain. Penuh keceriaan dalam ekspresi,
kekosongan dalam batin. Begitu pula saat
ku bertemu dengan wanita itu. Wanita
berkerudung yang muncul di antara orang-orang lain yang belum aku kenal.
Orang-orang yang dipertemukan denganku dalam suatu kegiatan sosial.
Aku tak dapat melihat secara pasti seperti apa wajah
wanita itu. Tapi aku tahu pasti ia
berbeda dengan orang-orang lain yang sedang berkumpul di aula itu. Wajahnya yang bersih selalu disembunyikan
dengan menghadap ke bawah. Memperjelas sosoknya yang sangat pemalu. Matanya yang manis tak tampak di antara
kerudung merah yang ia kenakan. Sesekali
hanya senyumnya yang tampak merekah menyapa kami.
Nur namanya. Kata
yang berasal dari bahasa Arab, orang Jerman menyebutnya Licht. Nama yang simpel, tetapi mengandung arti yang
indah, cahaya. Mungkin suatu hari kedua
orang tuanya mengharapkan kehadiran sosok yang dapat menjadi penerang
keluarganya, bahkan orang-orang di sekitarnya.
Atau mungkin juga bayi yang mereka timang diharapkan mampu menjadi
cahaya indah, pelita di antara cahaya gelap, kegelisahan, dan juga ketakutan. Entah apapun itu, pasti mereka memiliki
harapan yang mulia dalam nama tersebut.
***
Semakin bergulirnya waktu, semakin sering kita bertemu, semakin
pula kumengenalnya. Wajahnya yang manis,
indah berseri, seperti namanya, pun mulai aku pahami. Hanya satu hal yang belum aku tahu, rasa nyaman
yang aku rasakan saat bersamanya.
Bagaimana aku mulai senang menggodanya, atau bahkan merayunya. Bagaimana aku bisa membuatnya marah dan
membuatnya merasa sebaliknya. Begitu
pula seperti yang ia lakukan padaku.
Hingga suatu saat, dimana kita harus melakukan kegiatan
sosial selama sebulan penuh dan memaksa kami harus hidup bersama, aku semakin
dekat dengannya. Malam itu, ketika
sedang tertidur di ruang tamu, aku sungguh merasa kedinginan. Lokasi kegiatan yang berada di lereng
pegunungan membuat hawa dingin yang menusuk tulang. Maka tak jarang banyak rekanku yang jatuh
sakit atau sekedar flu.
Ketika tengah malam menyapa, aku merasa ada seseorang
yang mendekatiku. Meski aku sempat
terjaga dari tidurku, tapi malas bagiku untuk membuka mata. Rasa kantuk yang begitu berat lebih
mengajakku untuk tetap melanjutkan tidur.
Dan tiba-tiba terasa olehku, orang tersebut menutupi tubuhku dengan
selembar selimut tebal. Aku tak bergeming. Begitu pula orang tersebut, seperti terdiam
sesaat menghadapku, dan kemudian berbalik pergi. Saat terdengar langkah kakinya yang mulai
menjauh, dan daun pintu yang ia buka, kuintip dia dari kedua picingan
mataku. Nur, ternyata dia yang telah
menyelimutiku. Hingga aku merasa hangat.
Keesokan harinya, kuberpura-pura tak mengetahui kejadian
semalam. Saat anak-anak sedang
berkumpul, ku bertanya pada mereka, “Sepertinya semalam aku tidur gak pake
selimut, kok paginya udah selimutan ya? Siapa ya yang nyelimutin aku?”
Semua orang mengelak.
“Mungkin kamu lupa kali, aku liat kamu udah selimutan dari semalem,”
ujar salah seorang. Kucoba melirik Nur,
wajahnya tertunduk seperti menyembunyikan sesuatu. Dan aku tahu pasti apakah yang terjadi
semalam.
***
Hari yang lain dalam serangkaian kegiatan sosial yang
sedang kami ikuti. Hatiku cemas. Gelisah. Tapi tak pernah aku tunjukkan dalam raut
wajah ini.
Pagi itu, Nur membangunkanku tuk meminta diantarkan ke
dokter. Tubuhnya lemas. Leher sebelah kanan agak besar. Badannya panas. Wajahnya pucat. Aku tak tahu apakah dia akan kuat membonceng
sepeda motor menuju klinik. Tapi semua
itu tetap harus dihadapi agar kondisinya lebih baik.
Sesampai di klinik, dokter sedang keluar kota. Kulihat wajahnya semakin pucat
mendengarnya. Aku tahu pasti apa yang
dia rasakan, tapi aku harus tetap tenang untuk membuatnya lebih kuat. Maka
kubalikkan arah motor menuju puskesmas.
Yah, terpaksa kami berobat di tempat yang serba terbatas itu. Demi kesembuhannya.
Gondongan, itulah penyakit yang sedang ia alami. Meski kondisinya lemas, tapi dia boleh
pulang. Dengan bekal obat yang diberikan
dokter, diperkirakan lusa ia akan membaik. Kami pun bisa sedikit bernafas lega.
Sesampai di rumah, kuambilkan sepiring nasi dan telur
asin untuk dia makan. Karena dia masih
terbaring lemas di kamar, aku tak bisa berlama-lama di kamar wanita. Aku pun hanya bisa memastikan dia sudah minum
obat ditemani teman sekamarnya.
Malam itu sebuah kisah baru aku alami, untuk pertama
kalinya aku merasa sungguh perhatian pada seseorang. Inilah satu hal lagi yang
belum aku ketahui kenapa. Yang pasti aku
tak mau dia jatuh sakit.
***
Sebulan telah berlalu.
Kegiatan sosial yang kami lakukan telah usai. Senang hati rasanya bisa kembali pada
rutinitas masing-masing. Senang pula
saat kami berhasil menjalankan seluruh program yang telah direncanakan. Akan tetapi, dibalik semua itut, terdapat
kesedihan yang kami rasakan. Saat kami
harus berpisah dengan sahabat-sahabat yang sudah seperti saudara. Terutama saat aku harus berpisah dengan Nur.
Di hari itu, sebelum kami harus kembali ke rumah
masing-masing, Nur mendekatiku. Tak ada
sepatah katapun yang ia ucapkan, kecuali, “Ini buat kamu,” ia menyodorkan
boneka Teddy kesayangannya padaku. Aku
tak paham apa maksudnya, tapi boneka tersebut pasti akan membuatku sering
teringat padanya.
***
Setelah kegiatan sosial tersebut aku masih sering bertemu
dengan Nur. Bahkan dia yang membantuku
mengepak barang-barang sebelum aku harus terbang ke luar kota untuk melakukan praktek
kuliah selama sebulan. Dialah yang
mempersiapkan seluruh perlengkapan kerjaku di perusahaan hingga obat-obat yang
mungkin aku butuhkan jika jatuh sakit.
Aku semakin yakin akan pengaruh kehadirannya dalam hidupku.
Saat hari keberangkatan, ia turut menghantarkanku ke
bandara bersama keluargaku. Hingga
waktuku untuk check in dan harus berpisah, wajahnya menggambarkan kesedihan
melebihi keluargaku. Dan saat aku akan
naik ke atas pesawat, aku melihatnya menyertai keberangkatanku dari atas
anjungan.
Aku melambaikan tangan ke arah Nur dan keluargaku, dan
mereka pun membalasnya. Tampak Nur
seperti mengucapkan sesuatu dari balik kaca anjungan, tapi tak sedikitpun aku
dengar.
Selama sebulan di perantauan, rasa rindu akan kampung
halaman mendera. Rasa rindu akan sosok
Nur yang mulai sering bersamaku pun muncul.
Hanya komunikasi melalui ponsel maupun dengan menatap si Teddy yang
dapat menjadi obat rindu. Lalu perasaan
itu kian menajam saat dia marah padaku.
Untuk kesekian kalinya aku tak menjawab pertanyaan Nur
perihal tanggal kepulanganku. Aku tahu
dia juga sangat merindukan kedatanganku.
Namun, ada niat lain untuk memberikan kejutan untuknya. Namun, niat itu pun sirna manakala ia
mengancamku tak mau bertemu lagi jika aku tak mengaku.
***
Sudah
seminggu aku kembali ke kampung halaman.
Rasa rindu yang semakin mendalam pada semua hal di kota itu terobati
sudah. Begitu pula saat aku mendatangi
kos Nur untuk memberikan oleh-oleh, rasa bahagia tak dapat ia sembunyikan
lagi. Ia jadi salah tingkah.
Di
minggu itu pula aku mendatangi kampusnya.
Aku mengungkapkan seluruh isi hatiku padanya di taman kampus. Aku ingin menjadi bagian dari hidupnya,
begitu juga dia untuk hidupku. Aku tak
menghiraukan setiap kelebihan maupun kekurangannya, karena bagiku kesempurnaan
bukanlah hal yang aku cari, tapi bagaimana dia mampu membuatku merasa lebih
sempurna, itulah yang telah aku dapatkan darinya.
Namun,
ia belum bisa untuk menjawab pertanyaanku.
Aku tahu akan keadaannya. Baru
setahun lalu ia putus dengan mantannya.
Rasa sakit dan rasa takut akan mengalaminya lagi pasti masih ia
rasakan. Akupun tak mampu berbuat
apa-apa, karena aku hanya ingin mengharagainya.
Dua
minggu kemudian, tepat tanggal 12 Desember 2012 dia memintaku datang ke
kosannya. Aku takut sekali jika dia
jatuh sakit lagi seperti dulu. Atau
mungkin dia meminta tolong untuk keperluan lain. Sepanjang perjalanan aku hanya mampu
bertanya-tanya.
Sesampai
di kosannya, kami duduk berdua di ruang tamu.
Dia mengenakan kaos putih dan rok batik panjang yang membuatnya tampil
lebih cantik. Aku tak berhenti untuk
berulang kali meliriknya.
Sepuluh
menit pertama kami hanya saling diam.
Aku menunggunya, tapi dia juga tak mengucapkan sepatah katapun. “Ada apa?” aku berusaha mencairkan suasana.
Dia
hanya menjawab, “Aku sayang kamu.” Tak
ada kata lain yang ia ucapkan. Jantungku
berdegup kencang. Pikiranku gak
karuan. Wajahku memerah. Otot-otot tangan dan kakiku serasa tak bisa
digerakkan. Bukan karena aku sakit, tapi
karena hatiku terlalu bahagia. Hari itu
aku resmi pacaran dengannya.
***
Sudah
lama sudah kami jalan bersama. Banyak
hal baru yang mulai aku ketahui darinya.
Dia yang sering ngambek jika aku cuekkan. Dia yang begitu perhatian. Dia yang serba bisa. Dia yang selalu memikirkanku. Dia yang lemah lembut. Dia yang manja. Dia yang polos. Dia yang selalu membuatku
semakin cinta kepadanya.
Hari
ini, aku berusaha menyelesaikan syair ini.
Aku ingin memberikan hal yang paling indah yang akan membuatmu
bahagia. Mungkin, saat ini kamu sedang
marah padaku karena sengaja dua hari tak aku beri kabar. Sungguh susah
menuliskan kisah tentang dirimu, karena semuanya terlalu banyak dan terlalu
indah sehingga sulit untuk diungkapkan.
Namun aku tetap ingin berusaha untuk menyelesaikannya meski harus
menghabiskan weekend ku untuk berimajinasi.
Maaf,
jika hanya syair ini yang dapat aku berikan untukmu..
Akankah kita rela kehilangan orang yang sangat kita
cintai? Apakah kita sanggup berpisah
dengan orang yang kita sayangi? Kesendirian di masa kecil itu sangat
menakutkan, tetapi masa depan tanpa cinta itu lebih menyakitkan. Saat ku bertemu denganmu, kutuliskan syair
ini. Ku mengerti bahwa kau tak pandai
bersyair, tapi apakah yang akan kau rasakan ketika kau tahu ku menulisnya
karenamu? Saat mengenalmu, kuberanikan diri tuk mencintaimu, dan aku tak takut
lagi akan kehilanganmu karena suatu hari nanti ku berjanji akan memilikimu
seutuhnya..
Nur, apapun makna dibalik namamu, aku yakin kau akan
menjadi cahaya dalam hidupku..
Magelang,
17 Maret 2013